BAB 1
Pendahuluan
Akhir-akhir
ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas, ada kebebasan
luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam
pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar. Tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar
berupa grup-grup bisnis raksasa yang memproduksi barang dan jasa melalui
anak-anak perusahaannya yang menguasai pangsa pasar yang secara luas
menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat banyak, khususnya pengusaha menengah
ke bawah. Kekhawatiran tersebut menimbulkan kecurigaan telah terjadinya suatu
perbuatan tidak wajar dalam pengelolaan bisnis mereka dan berdampak sangat
merugikan perusahaan lain bahkan masyarakat.
Dalam
persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh
keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar
peraturan yang berlaku. Demikian pula sering terjadi perbuatan penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan pihak birokrat dalam mendukung usaha bisnis pengusaha
besar atau pengusaha keluarga pejabat. Peluang-peluang yang diberikan
pemerintah pada masa orde baru telah memberi kesempatan pada usaha-usaha
tertentu untuk melakukan penguasaan pangsa pasar secara tidak wajar. Keadaan
tersebut didukung oleh orientasi bisnis yang tidak hanya pada produk dan
kosumen tetapi lebih menekankan pada persaingan sehingga etika bisnis tidak
lagi diperhatikan dan akhirnya telah menjadi praktek monopoli, persengkongkolan
dan sebagainya.
Pelanggaran
etika bisnis dan persaingan tidak sehat dalam upaya penguasaan pangsa pasar
terasa semakin memberatkan para pengusaha menengah kebawah yang kurang memiliki
kemampuan bersaing karena perusahaan besar telah mulai merambah untuk menguasai
bisnis dari hulu ke hilir.
Dalam efisiensi pengeluaran
suatu perusahaan memang banyak hal yang biasa di lakukan mulai dari pengalihan
anggaran perusahaan hingga peralihan sistem, akan tetapi dalam prakteknya
banyak perusahaan yang lebih memilih cara-cara kotor untuk melakukan efisiensi
pengeluaran biaya operasional perusahaan yang tentunya akan mempunyai dampak negatif
bukan hanya terhadap stakeholders perusahaan namun juga masyarakat luas
Dalam beberapa periode belakangan
banyak sekali kasus pelanggaran yang di lakukan perusahaan di kawasan Sumatera
dan Kalimantan khususnya perusahan kelapa sawit yang mereka dengan sengaja
melakukan pembakaran hutan ketika ada pembukaan lahan baru. Mungkin bagi
perusahaan akan sangat menghemat anggaran dan waktu mereka untuk melakukan
pembukaan lahan baru daripada membersihkan semak dengan alat secara manual.
Mereka seperti acuh dengan
adanya pembakaran lahan tersebut bahkan terkesan” lempar batu sembunyi tangan”
akan akibat yang di timbulkan dari ulah mereka. Hal ini pula yang membuat kami
tertarik untuk mengupas lebih dalam hal ini. Kami berharap wawasan kita akan
lebih luas dengan adanya makalah ini.
I BAB 2
Landasan
Teori
Bisnis dalam arti luas adalah
suatu istilah umum yang menggambarkan suatu aktivitas dan institusi yang
memproduksi barang dan jasa dalam kehidupan sehari-hari (Amirullah, 2005:2).
Menurut Bukhori Alma (1993:2),
bisnis adalah sejumlah total usaha yang meliputi pertanian, produksi,
konstruksi, distribusi, transportasi, komunikasi, usaha jasa dan pemerintah,
yang bergerak dalam bidang membuat dan memasarkan barang dan jasa kepada konsumen.
Menurut Louis E. Boone (2007:5),
bisnis (bussines) terdiri dari seluruh aktivitas dan usaha untuk mencari
keuntungan denganmenyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan bagi system
perekonomian, beberapa bisnis memproduksi barang berwujudsedangkan yang lain
memberikan jasa.Sedangkan perilaku merupakan tindakan seseorang dalamkehidupan
sehari-hari.
Oleh karena itu, bisnis
merupakan tindakan individu dan sekelompok orang yang menciptakan nilai melalui
12 penciptaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
memperoleh keuntungan melalui transaksi.
a
Jenis - jenis Bisnis
Menurut Indriyo Gito Sudarmo
(1993: 3), ada beberapa macam jenis bisnis, untuk memudahkan mengetahui
pengelompokannya maka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Ekstraktif, yaitu bisnis yang
melakukan kegiatan dalam bidang pertambangan atau menggali bahan-bahan tambang
yang terkandung di dalam perut bumi.
Agraria, yaitu bisnis yang
menjalankan bisnisnya dalam bidang pertanian.
Industri, yaitu bisnis yang
bergerak dalam bidang industri.
Jasa, yaitu bisnis yang bergerak dalam bidang
jasa yang menghasilkan produk-produk yang tidak berwujud.
b
Elemen Bisnis
Elemen bisnis yang utama dan
merupakan sumber daya yang kompetitif bagi sebuah bisnis terdiri dari empat
elemen utama yaitu:
1.
Modal, yaitu sejumlah uang yang
digunakan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis.
2.
Bahan material, yaitu bahan-bahan yang
terdiri dari sumber daya alam, termasuk tanah, kayu, mineral, dan minyak.
Sumber daya alam tersebut disebut juga sebagai faktor produksi yang dibutuhkan dalam
melaksanakan aktivitas bisnis untuk diolah dan menghasilkan barang dan jasa
yang dibutuhkan masyarakat.
3.
Sumber daya manusia, yaitu sumber daya
yang berkualitas yang diperlukan untuk kemajuan sebuah bisnis.
4.
Keterampilan manajemen artinya suatu
bisnis yang sukses adalah suatu bisnis yang dijalankan dengan manajemen yang
efektif. Sistem manajemen yang efektif adalah sistem yang dijalankan
berdasarkan prosedur dan tata kerja manajemen.
c
Etika Bisnis
Etika berasal dari kata Yunani
yaitu ethos yang berarti cara
berfikir atau kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah ta etha,
yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini, kata etika sama pengertiannya dengan
moral. Menurut Suhardana (2006) dalam Sukirno Agus dan I Cekik
Ardana (2009: 127-128) istilah
lain dari etika adalah susila, su artinya baik, sila artinya kebiasaan. Jadi
susila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik.
Menurut Lawrence, Weber, dan
Post (2005) dalam Sukirno Agus dan I Cekik Ardana (2009: 127-128) etika adalah
suatu konsepsi tentang perilaku benar dan salah. Etika menjelaskan kepada kita
apakahperilaku kita bermoral atau tidak berkaitan dengan hubungan kemanusiaan
yang fundamental, bagaimana kita berpikir dan bertindak kepada orang lain dan
bagaimana kita inginkan meraka berpikir dan bertindak terhadap kita. Menurut
David P. Baron (2005) dalam Sukirno Agus dan I Cekik Ardana (2009: 127-128)
etika adalah suatu pendekatan sistematis atas penilaian moral yang didasarkan
atas penalaran, analisis, sintetis, dan reflektif.
Menurut Muslich (2004: 9) etika
bisnis dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan
dan pengelolaan bisnisyang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku
secarauniversal dan secara ekonomi/sosial, dan pengetrapan norma dan moralitas
ini menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis.
Etika bisnis terkait dengan
masalah penilaian terhadap kegiatan dan perilaku bisnis yang mengacu pada
kebenaran atau kejujuran berusaha (Murti Sumarni, 1995:21). Chandra R (1998:
20) menambahkan bahwa perubahan-perubahan besar dalam oraktik pengelolaan
bisnis dewasa ini menyebabkan perhatian terhadap etika bisnis semakin penting. Oleh
karena itu, etika bisnis merupakan pengetahuan pedagang tentang tata cara
pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas
melalui penciptaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
memperoleh keuntungan melalui transaksi.
d.
Prinsip-prinsip Etika Bisnis
Etika bisnis memiliki prinsip-prinsip
yang bertujuan memberikan acuan cara yang harus ditempuh oleh perusahaan untuk
mencapai tujuannya. Muslich (2004: 18-20) menyatakan bahwa prinsip-prinsip
etika bisnis meliputi:
1 1.
Prinsip ekonomi
Perusahaan secara bebas memiliki
wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan pelaksanaannya dengan visi dan
misi yang dimilikinya dalam menetapkan kebijakan perusahaan harus diarahkan
pada upaya pengembangan visi dan misi perusahaan yang berorientasi pada
kemakmuran, kesejahteraan para pekerja, komunitas yang dihadapinya.
2. Prinsip kejujuran
Kejujuran menjadi nilai yang
paling mendasar dalam mendukung keberhasilan kinerja perusahaan. Dalam
hubungannya dengan lingkungan bisnis, kejujuran diorientasikan kepada seluruh pihak
yang terkait dengan aktivitas bisnis. Dengan kejujuran yang dimiliki oleh suatu
perusahaan maka masyarakat yang ada di sekitar lingkungan perusahaan akan
menaruh kepercayaan yang tinggi bagi perusahaan tersebut.
3. Prinsip
niat baik dan tidak berniat jahat
Prinsip ini terkait erat dengan kejujuran.
Tindakan jahat tentu tidak membantu perusahaan dalam membangun kepercayaan masyarakat,
justru kejahatan dalam berbisnis akan menghancurkan perusahaan itu sendiri.
Niatan dari suatu tujuan terlihat cukup transparan misi, visi dan tujuan yang
ingin dicapai dari suatu perusahaan.
4. Prinsip
adil
Prinsip ini menganjurkan perusahaan untuk
bersikap dan berperilaku adil kepada pihak-pihak bisnis yang terkait dengan sistem
bisnis tersebut.
5. Prinsip
hormat pada diri sendiri
Prinsip hormat pada diri sendiri adalah cermin
penghargaan yang positif pada diri sendiri. Hal ini dimulai dengan penghargaan terhadap
orang lain. Menjaga nama baik merupakan pengakuan atas keberadaan perusahaan
tersebut.
e. Hal-hal
yang Harus Diperhatikan dalam Etika Bisnis
Dalam etika bisnis ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
Etika bisnis produksi
Produksi merupakan kegiatan
untuk meningkatkan nilai guna suatu barang atau jasa. Dalam etika menentukan
produk dalam rangka mempertemukan apa dan bagaimana keinginan dan kebutuhan
konsumen, berkaitan erat dengan hal-hal sebagai berikut:
·
produk yang berguna dan dibutuhkan
·
produk yang berpotensi menghasilkan
keuntungan nilai tambah yang tinggi
·
jumlah yang dibutuhkan dan mendapatkan
keuntungan
dapat memuaskan konsumen secara positif (Muslich, 2004:97).
2.
Etika bisnis promosi dan pemasaran
Kegiatan promosi dan pemasaran
merupakan ujung tombak dari kegiatan bisnis yang dijadikan pendukung utama
dalam menggembangkan bisnis. Menurut William J. Stanton dalam (Basu Swasta dan
Sukotjo, 1995; 179) pemasaran adalah suatu system keseluruhan dari kegiatan
bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan
barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik pembeli yang ada maupun pembeli
yang potensial.
Menurut Muslich (2004: 93-94)
hal yang penting dalam promosi menurut etikanya adalah kebenaran dan kejujuran obyektivitas
pesan faktual yang disampaikan dengan tujuan untuk membangun kepercayaan dan
loyalitas masyarakat terhadap perusahaan.
3.
Etika bisnis distribusi
Prinsip
distribusi produk dimaksudkan untuk mencapai ketepatan dan kecepatan waktu
datangnya barang ketangan konsumen, keamanan yang terjaga dari kerusakan,
sarana kompetisi dalam ketepatan memenuhi kebutuhan masyarakat. Etika bisnis
dalam kegiatan distribusi yaitu kecepatan dan ketepatan produk ditangan
konsumen dengan mudah pada saat dibutuhkan. Jika bisnis melakukan penimbunan
atas produk maka akibatnya tidak terdapat ketersediaan produk yang cukup dapat
menyebabkan kelangkaan. Penimbunan barang dengan tujuan mendapatkan keuntungan
yang maksimal hal ini tidak sesuai dengan etika bisnis.
4.
Etika bisnis dalam kompetisi
Sebuah kegiatan bisnis tidak
bisa terlepas dari kompitisi antar pelaku bisnis. Menurut Muslich (2004:108) prinsip
etika yang dapat dikembangkan dalam kompetisi berdasarkan landasan-landasan
yang berlaku.
f. Pentingnya
Etika Bisnis
Bisnis dipahami sebagai suatu
proses keseluruhan dari produksi yang dirumuskan sebagai usaha memaksimalkan
keuntungan perusahaan dan meminimumkan biaya produksi. Oleh karena itu, bisnis seringkali
menetapkan pilihan strategis berdasarkan nilai dimana pilihan tersebut
didasarkan atas keuntungan dan kelangsungan hidup perusahaan. Menurut Muhammad
(2004: 60-61), pentingnya etika bisnis dalam kelangsungan perusahaan adalah
sebagai berikut:
Tugas utama etika bisnis
dipusatkan pada upaya mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan strategis
sustu bisnis dengantuntunan moralitas.
Etika bisnis bertugas melakukan
perubahan kesadaran masyarakat tentang bisnis dengan memberikan suatu pemahaman.
BAB
3
Pembahasan
Sudah ada sekitar satu bulan
terakhir wilayah di Sumatera dan Kalimantan di selimuti asap tebal yang
membahayakan. Hal ini di sebabkan karena ulah segelintir orang yang ingin
membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Mereka membuka lahan dengan cara yang
tidak sepantasnya di lakukan yaitu dengan membakar lahan sehingga menyebabkan
polusi asap yang membahayakan.
Pemerintah menaruh perhatian
serius terhadap peristiwa ini namun pemerintah belum menjadikan peristiwa ini
sebagai bencana nasional. Tentu hal ini sangat menghawatirkan banyak pihak
karena paparan asap yang berbahaya dapat menyebabkan gangguan pada system
pernafasan.
Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan pihaknya telah menetapkan tujuh
perusahaan sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan. Ketujuh perusahaan
tersebut beroperasi di Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah.“Secara
keseluruhan kami telah menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya ialah
korporasi. Tadi pagi juga sudah ada yang ditangkap,” kata Badrodin dalam
konferensi pers di kantor presiden, Jakarta. Ketujuh perusahaan itu adalah PT
RPP di Sumatra Selatan, PT BMH di Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT
GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA di Kalimantan Tengah, dan PT ASP di Kalteng.
Selain menetapkan ketujuh
perusahaan itu sebagai tersangka, Badrodin mengatakan ada 20 perusahaan lainnya
yang berada dalam proses penyidikan. Adapun yang menjadi dasar hukum dalam
proses penyidikan ialah :
Undang-Undang
Perkebunan 39 tahun 2014 pasal 108
·
Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang
membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Undang-Undang
Kehutanan pasal 50
·
Setiap
orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
·
Setiap
orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta
izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan
yang menimbulkan kerusakan hutan.
·
Setiap
orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah merambah kawasan hutan
Undang-Undang
Kehutanan pasal 78
·
Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
d. UU
No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal
116.
·
Apabila
tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan
usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang
yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
·
Apabila
tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama
Tentu hal ini jelas melanggar
etika dalam melakukan usaha atau dalam berbisnis. Aneh nya hal yang tak
sepatutnya tidak di lakukan ini seakan-akan menjadi hal wajib setiap tahunya
dalam pembukaan lahan baru di kawasan Sumatera dan Kalimantan. Mungkin
penambahan sanksi yang lebih berat harus di berikan guna memberikan efek jera
terhadap oknum pembakah hutan ini. Kapolri sendiri sudah mengutarakan sendiri
pendapatnya mengenai sanksi bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini.
“Saya menyarankan agar pemerintah selaku
regulator memberikan sanksi tambahan bagi perusahaan-perusahaan yang tidak
beriktikad baik ini dengan memberikan blacklist sehingga ke depan
permohonan perizinan usaha yang sama bisa ditolak,” kata Badrodin.
Sementara
itu, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, mengatakan harus ada
penegakan hukum paralel. Artinya, suatu pihak yang dijadikan tersangka oleh
kepolisian dalam hukum pidana, bisa dikenai sanksi administratif dan gugatan
perdata oleh pemerintah. “Karena itu, ada sembilan gugatan perdata yang tengah
kami persiapkan. Kami juga siapkan sanksi administratif dengan menyesuaikan
data kepolisian. Tidak lama itu, sebulan ini kita selesaikan,” kata Siti.
Sanksi
administratif berupa tiga macam, yakni paksaan penghentian kegiatan, membekukan
ijin usaha, hingga pencabutan izin usaha.
Sebelumnya,
aktivis lingkungan menilai kelemahan aparat hukum
dalam menangani isu lingkungan serta sanksi hukuman yang ringan sebagai
penyebab berulangnya kasus pembakaran hutan dari tahun ke tahun.
Aktivis
koalisi pemantau pengrusakan hutan (Eyes on the forest) di Provinsi Riau,
Afdhal Mahyuddin mengatakan, dirinya menyambut baik niat pemerintah untuk
menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terbukti membakar hutan, tetapi dia skeptis upaya itu dapat membuat efek jera.
Direktur
Eksekutif lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Provinsi Riau, Rico
Kurniawan, mengatakan sanksi selama ini berhenti pada pernyataan dan tanpa
tindak lanjut konkret. "Ada tiga perusahaan di Riau yang dikenai vonis.
Meskipun vonisnya ringan, tapi titik api berkurang jauh di lahan konsesi
perusahaan-perusahaan itu. Namun, perusahaan yang dinyatakan sebagai tersangka
pada 2013 dan 2014, tahun ini mereka membakar lagi. Artinya, vonis harus
diterapkan dan bukan sekadar pepesan kosong," kata Rico.
Pencabutan
izin perusahaan pembakar lahan, menurutnya, akan memberikan efek sekaligus
mematahkan anggapan bahwa ijin diberikan pada perusahaan yang memiliki
'bekingan'. "Diduga kuat bahwa penerbitan izin itu penuh dengan bekingan.
Ini harus diterobos. Kita mengharapkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan
Hidup berani bertindak," tambahnya.
Adanya
ketegasan dari pemerintah sangat di perlukan dalam hal ini. Pencabutan izin
usaha mungkin harus di jadikan jurus pamungkas pemerintah untuk memberikan efek
jera terhadap oknum pembakar hutan tersebut.
Aksi pemerintah memenjarakan
atau menuntut individu serta perusahaan yang diduga membakar lahan tak akan
cukup untuk mencegah kabut asap berulang. Fakta dan kesimpulan ini terungkap
dalam penelitian tentang 'Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan' dari
peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo.
Kerumitan di lapangan, menurut
Herry, terjadi karena para pelaku pembakar hutan, baik masyarakat maupun
kelas-kelas menengah dan perusahaan selalu berhubungan dengan orang-orang kuat,
baik di tingkat kabupaten, nasional, bahkan sampai tingkat ASEAN. Tidak mudah
bagi bupati yang akan menuntut pembakar hutan, bisa jadi yang punya kebun
kelapa sawit berhubungan dengan partai tertentu yang kuat di daerah, sehingga
bupati atau gubernur tidak dapat secara mudah bertindak, harus melihat
konstelasi politik.
Aktor-aktor tersebut,
berdasarkan hasil penelitiannya, bekerja seperti bentuk "kejahatan
terorganisir". Ada kelompok-kelompok yang menjalankan tugas berbeda,
seperti mengklaim lahan, mengorganisir petani yang melakukan penebasan atau
penebangan atau pembakaran, sampai tim pemasaran dan melibatkan aparat desa.
Namun tak hanya di tingkat
pusat, pemilik lahan bisa saja kerabat penduduk desa, staff perusahaan, pegawai
di kabupaten, pengusaha, atau investor skala menengah dari Jakarta, Bogor, atau
Surabaya.
Masing-masing kelompok yang
melakukan aktivitas pembukaan lahan akan mendapat persentase pemasukan sendiri,
namun rata-rata, pengurus kelompok tani mendapat porsi pemasukan terbesar,
antara 51%-57%, sementara kelompok petani yang menebas, menebang, dan membakar
mendapat porsi pemasukan antara 2%-14%.
Dalam penelitiannya, Herry
menemukan bahwa harga lahan yang sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang
ditawarkan dengan harga Rp8,6 juta per hektar. Namun, lahan dalam kondisi 'siap
tanam' atau sudah dibakar malah akan meningkat harganya, yaitu Rp11,2 juta per
hektar.
Lalu tiga tahun kemudian,
setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka perkebunan yang sudah jadi
itu bisa dijual dengan harga Rp40 juta per hektar. Kenaikan nilai ekonomi dari
lahan inilah yang membuat aktor-aktor yang diuntungkan berupaya agar kebakaran
hutan dan lahan terjadi terus-menerus.
Selain itu, dalam pola jual beli
lahan, penyiapan lahan menjadi tanggung jawab pembeli, jika akan dibakar atau
dibersihkan secara mekanis. Semakin murah biaya pembersihan, untung pembeli
akan semakin besar. Sebagai perbandingannya, menurut Herry, per hektar lahan
yang dibakar biayanya $10-20, sementara untuk lahan yang dibersihkan secara
mekanis membutuhkan $200 per hektar. Penelitian Herry dilakukan di 11 lokasi di
empat kabupaten di Riau, yaitu Rokan Hulu, Rokan Hilir, Dumai, dan Bengkalis
menggunakan metode pemetaan, survei, dan pendekatan kebijakan. Di Riau, ada 60
perkebunan kelapa sawit dan 26 hutan tanaman industri.
Perusahaan atau individu di
daerah yang menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit di daerah bisa menemukan
patron-patron politik di tingkat lokal. Herry mencontohkan, "Misalkan ada
perusahaan-perusahaan skala kecil yang punya patron partai politik sangat kuat
di kabupaten itu yang berpengaruh ke proses-proses pengambilan keputusan dan
penegakan hukum di daerah tersebut. Bisa jadi mereka pendukung kuat dari
petahanan."
Pemain di tingkat menengah atau
'cukong', Herry menemukan bisa siapa saja. "Dari oknum pegawai pemerintah,
polisi, tentara, peneliti, bisa terlibat, bisa punya sawit sampai ratusan
hektar dan dalam proses pengembangan sawitnya bisa melakukan pembakaran untuk
menyambut musim hujan berikutnya," ujarnya.
Aktor-aktor inilah yang tak
terbaca atau tertangkap dalam pola penegakan hukum yang terjadi sekarang untuk
menangani kabut asap. Untuk menemukannya, maka penting untuk menelusuri ke mana
produk kelapa sawit dari perkebunan-perkebunan tersebut disalurkan.
Terhadap temuan ini, juru bicara
Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi,
mengatakan, ada 2.500 perusahaan kelapa sawit kelas kecil dan menengah, dan
total hanya ada 635 perusahaan yang menjadi anggota GAPKI.
Yang jadi anggota kita saya
yakin tidak ada yang membakar lahan, karena kita kontrol sampai bawah. Di luar
anggota GAPKI, kami tak punya instrumen atau kepentingan, tapi kita mengimbau,
mendukung apa yang disampaikan oleh gubernur Kalsel misalnya agar perusahaan
kelapa sawit kecil dan menengah untuk jadi anggota GAPKI agar kontrolnya lebih
gampang," ujarnya.
Namun, Tofan mengakui bahwa
mereka belum memiliki metode yang ketat dalam melakukan pengawasan sampai ke
bawah. "Tapi GAPKI punya standar, punya requirement, memenuhi
aturan yang sesuai dengan regulasi di pusat, lokal, dan daerah," katanya.
Akan tetapi beberapa waktu lalu
ada perusahaan yang merupakan anggota GAPKI yang menjadi tersangka atas tuduhan
pembakaran lahan. Dan yang lebih ironis adalah bukan cuma perusahaan lokal saja
yang menjadi biang keladi pembakaran hutan, ada sekitar dua perusahaan asing
yang sedang di periksa oleh pihak kepolisian terkait hal ini dan dua perusahaan
tersebut berasal dari negeri jiran Malaysia.
Tentu sebagai sebuah perusahaan
atau pelaku bisnis haruslah menjunjung tinggi etika atau aturan yang berlaku.
Bukan cuma masalah profit bagi perusahaan tetapi juga harus memperhatikan
dampak dari tindakan yang di lakukan perusahaan. Dimana yang seharusnya adanya
perusahaan itu member dampak positif malah justru menyebabkan bencana bagi
masyarakat sekitar.
III.
BAB 4
Kesimpulan
Dalam makalah yang berjudul “Paparan Asap Bumi Khatulistiwa” tentu sudah jelas di
terangkan bahwa dampak dari segelintir perusahaan yang tidak bertanggung jawab
dapat menyebabkan dampak yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat banyak.
Alih-alih ingin mengurangi pengeluaran biaya operasional, mereka rela
mengorbankan orang lain dengan di paksa menghirup asap berbahaya dari kebakaran
lahan.
Padahal jelas adanya etika dalam bisnis
adalah supaya setiap apa-apa yang di jalankan dalam bisnis selalu ada regulasi
yang jelas dan berlandaskan aturan yang jelas. Bukan hanya target untuk
memperoleh profit yang tinggi tetapi juga untuk menjaga kepentingan bersama.
Etika ini yang kadang terabaikan oleh perusahaan yang selalu mengejar target
keuntungan tinggi sehingga prinsip serta aturan atau etika dalam menjalankan
usaha di abaikan begitu saja dan cenderung mencari kambing hitam dan terkesan
lempar tangan akan akibat yang di timbulkan dari ulahnya. Kami sebagai
mahasiswa menghimbau agar semua pelaku bisnis agar menaati aegala aturan yang
sudah di jadikan regulasi oleh pemerintah agar tidak ada kerugian dari pihak
manapun dan tentunya dapat menjaga lingkungan sekitar agar tetap lestari.
Sekian makalah ini kami buat, atas perhatianya kami ucapkan terima kasih.